ANALISIS UU PTUN
Keberadaan
pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)
masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan
“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat
maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Namun
ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun
2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada
semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak
terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa
dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan
(KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan
merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini,
sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai
hasil pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan
yang terkait dengan pemilihan umum.
Sebab,
apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak
memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang
diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa
hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan
tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan
putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling
kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18
Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa
keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus
pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA No. 8 Tahun 2005.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara
Pilkada oleh Irvan Mawardi
Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam perkara Pilkada.
Pada
kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD
tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui
verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat
tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih.
Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat
Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK
itu setelah pelantikan berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189). Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171). Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Berdasarkan
pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah
KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu
diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang
waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek
pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara
pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang
sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak
mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung
kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa
bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak
bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN
tersebut.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai.
Problem
Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Jangka
waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu
ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa
pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3
hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008),
sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari
(vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa
pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau
terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat
besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN
bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak
dapat diterima
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.
Dalam
konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai
secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha
negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan
kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan
Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan
tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa
pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan
materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu
atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak
keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan
.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara
Pilkada oleh Irvan Mawardi
Kesimpulan analisis uu PTUN
m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh
Irvan Mawardi
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara
Pilkada oleh Irvan Mawardi
Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih berlaku. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Maward Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada. lihat juga : contoh kasus PTUN Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi |
0 komentar:
Posting Komentar